DiksinasiNews.co.id, PURWADIKSI (HAWU) – Mungkin bagi sebagian orang ada yang masih mengenal properti apa yang ada di dalam gambar yang redakasi bagikan.
Tempat untuk memasak yang terbuat dari beberapa tumpuk batu bata yang diplester dan di aci ini mempunyai bentuk aneka ragam. Ada yang berbentuk bulat, ada juga yang berbentuk kotak dan persegi panjang. Alat masak ini bernama “Hawu”.
Hawu berasal dari kata awu (bahasa Jawa) yang berarti abu, sedangkan abu, bagi masyarakat sunda menyebut lebu. Jadi hawu adalah tempat terkumpulnya abu atau lebu. Masyarakat Jawa Barat (Jabar) atau orang sunda mengenal hawu sebagai tempat perapian untuk masak-memasak.
Di pedesaan atau perkampungan, memang benar masih banyak masyarakat yang menggunakan hawu untuk memasak. Tapi tidak sedikit pula yang sudah beralih ke kompor minyak tanah atau bahkan kompor gas elpiji.
Bahan bakar Hawu adalah suluh (kayu bakar), cuman memanfaatkan ranting, kayu, atau dahan pohon yang jatuh sendiri.
Sebagai contohnya yaitu saya sendiri yang masih ingat ketika sekitar tahun 90-an, saat saya masih duduk di bangku SD di Dusun Ancol, Sindangkasih Ciamis mendiang nenenk saya kala itu masih menggunakan hawu.
Pelengkap hawu adalah songsong, (selongsong) yaitu alat berbentuk pipa terbuat dari batang bambu, sebagai alat untuk meniupkan udara ke dalam hawu agar api menyala lebih besar.
Hampir semua warga di kampung saya memiliki kegiatan rutin ngala suluh (mencari kayu bakar) ke kebun atau ke hutan. Biasanya kalau kakek saya membawa satu ikat kayu bakar yang dia suhun (membawa barang di kepala). Tapi sekarang kegiatan seperti itu hampir tidak ada, lantaran pengguna hawu sudah berkurang.
Apabila kita menilai pada masa kini, memang kita akui selain hawu dinilai kurang praktis, yang akan jadi kendala juga karena tidak semua masyarakat memiliki kebun. Dan terhitung jarang warga yang sengaja memelihara pohon albasia atau pohon jeungjing di pekarangan rumah.
Perubahan zaman dan pemerintah yang jadi faktor pengaruh
Jadi, benar bahwa masyarakat pedesaan jarang menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hawu di rumah, karena para penggunanya pun tidak terlalu banyak. Paling tidak, masyarakat pengguna hawu tidak akan ngala suluh ke kampung tetangga, kalau sekedar mencari kayu bakar untuk memasak di rumah.
Namun jika semua masyarakat pedesaan dan perkotaan harus kembali pada tradisi hawu, tentu ceritanya akan berubah. Permintaan kayu bakar bakal naik secara drastis. Dengan begitu, sangat mustahil jika masyarakat hanya memotong ranting atau dahan di kebun. Apalagi jika lembaran uang sudah berkibar-kibar, penebangan pohon pasti merajalela.
Prinsip menanam sebelum menebang, tidak sesederhana yang bisa kita bayangkan. Bagaimanapun, menanam sebuah pohon albasiah memerlukan waktu bertahun-tahun. Sedangkan satu pohon albasiah, kemungkinan hanya cukup satu atau dua bulan untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar hawu di satu rumah. Menanam jauh lebih lama dari pada menggunakan.
Benar bahwa tradisi siduru (berdiang) pagi hari sangatlah menyenangkan hati dan kita seakan terbawa pada nostalgia masa lampau. Juga merupakan salah satu gambaran eratnya tali persaudaran. Itupun kalau siduru bersama. Namun, ada pula yang beranggapan siduru merupakan suatu pangedulan (bermalas-malasan). Sebab, pagi hari bukan waktunya siduru, tetapi untuk bersiap-siap bekerja dengan penuh semangat.
Bagaimana jadinya dengan masyarakat perkotaan yang sejak pagi buta sudah berpacu dalam kesibukannya masing-masing. Tanpa dengan siduru, masyarakat pedesaan atau perkotaan punya banyak cara untuk mempererat tali silaturahmi atau membina kebersamaan.
Berdasar pertimbangan tersebut, kembali kepada tradisi hawu tidak mungkin menjadi solusi, terlebih bagi masyarakat perkotaan. Jika semua orang menggunakan kayu bakar, belum tentu tradisi hawu yang berkembang.
Perlu adanya kepedulian dari seluruh elemen
Jangan-jangan malah meniru atau mengembangkan tungku yang sering kita lihat di film-film negeri salju. Kalau begitu jadinya, bukan pemeliharaan tradisi hawu yang terjadi, melainkan pemusnahan tradisi. Secara pribadi, saya menginginkan agar tungku masak ini lebih panjang umur. Biarlah hawu hidup secara alami.
Sama halnya dengan rencana pemerintah yang kala itu ketika kepemimpinan Pak SBY dan Pak JK menyediakan kompor gas geratis dan meminjamkan tabung gas.
Pemerintah pada waktu itu meniadakan minyak tanah yang memang persediaannya semakin menipis. Lalu berganti dengan gas elpiji hingga sekarang. Lambat laun, persediaan gas elpiji pun pasti akan menipis, dan tsrbukti kelangkaan gas elpiji acapkali membuat masyarakat kecil kesulitan untuk mendapatkannya, lantaran banyak ulah dari para oknum yang bermain.
Jika kayu bakar menjadi andalan, lama-kelamaan banyak hutan yang menjadi gundul. Maka dari itu, ada baiknya jika pusat perhatian pemerintah bukan pada materinya, melainkan pada sikap atau mental masyarakatnya. Bahan bakar apapun pasti akan boros, jika watak penggunanya sudah pemborosan.
Berbagai musibah yang melanda negeri Indonesia, sudah cukup untuk dimaknai sebagai isyarat bahwa alam telah rusak oleh tangan-tangan serakah. Alam mulai protes, karena terlalu dieksploitasi. Banjir, longsor, atau kekeringan adalah contoh bencana alam yang salah satu penyebabnya adalah karena gundulnya hutan.
Lalu, bagaimana jadinya jika kayu bakar malah kita andalkan menjadi bahan bakar? Bukankah hal itu justru akan merusak alam? Padahal, alam pun punya hak untuk hidup dengan tenang. Sejenak marilah kita renungkan akan hal ini. Marilah kita bersahabat dengan alam.
Yang terpenting, bukanlah apa yang kita gunakan, tetapi bagaimana cara kita menggunakannya. Mari kita intropeksi diri dan menelusuri: siapa sebenarnya raksasa tukang menghambur-hamburkan bahan bakar?
Semoga hawu panjang umur dan bahagia.***
Comment