DiksinasiNews.co.id, JAKARTA – Buntut dari permasalahan proyek Meikarta milik Grup Lippo kian panas. Pasalnya, pembeli pun mengadu kepada ke berbagai pihak untuk meminta bantuan. Kandas di pengadilan, 100 orang yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) pun berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/12).
Pembeli menuntut pengembalian uang yang sudah dibayarkan, lantaran mereka tak kunjung menerima unit apartemen yang berlokasi di Cikarang, Kabupaten Bekasi tersebut.
Mereka memohon kepada DPR guna membantu menyelesaikan gagalnya serah terima unit apartemen dan menuntut uang mereka dikembalikan.
Grup Lippo melalui anak usahanya yang membawahi proyek Meikarta, PT Lippo Cikarang Tbk (LPCK), menjelaskan bahwa perselisihan dengan para pembeli sebenarnya sudah diselesikan di pengadilan.
Proyek yang berada di Cikarang Timur itu digarap oleh anak usaha LPCK, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU). Menurut keterangan perusahaan, mereka tetap mematuhi aturan yang ada, termasuk putusan pengadilan.
“Berdasarkan informasi yang telah kami terima dari PT MSU, aksi demonstrasi tersebut dilakukan untuk memenuhi permintaan pembeli yang berbeda dari kesepakatan perdamaian yang disahkan (homologasi),” kata Sekretaris Perusahaan LPCK, Veronika Sitepu dikutip dari Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Minggu (11/12/2022).
Putusan pengadilan yang dimaksud Veronika adalah putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 328/Pdt.SusPKPU/2020/PN.Niaga Jakarta Pusat tertanggal 18 Desember 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap (‘inkracht van gewijsde’) pada tanggal 26 Juli 2021 (“putusan homologasi”).
“PT MSU senantiasa memenuhi komitmennya dan menghormati putusan homologasi yang mengikat bagi MSU dan seluruh krediturnya (termasuk pembeli),” jelas Veronika.
Ia menegaskan, perusahaan berkomitmen bahwa setiap pembeli yang telah membeli unit apartemen, baik tunai kredit, akan segera mendapatkan unitnya.
Namun demikian, lanjut Veronika, mengingat pembangunan yang masih berlangsung hingga saat ini dan beberapa kendala, penyerahan unit apartemen terpaksa dilakukan secara bertahap.
“PT MSU juga sudah menginformasikan hasil putusan homologasi ini kepada seluruh pembeli yang belum menerima unit, di mana pelaksanaan hasil putusan sudah dijalankan dalam bentuk serah terima unit secara bertahap sejak Maret 2021 lalu,” ungkap Veronika.
Sementara itu dikutip dari Harian Kompas, sekitar 100 orang yang tergabung dalam Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) berunjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta Pusat, Senin 5 Desember 2022.
Mereka memohon kepada DPR guna membantu menyelesaikan gagalnya serah terima unit apartemen dan menuntut uang mereka dikembalikan.
Salah satu pembeli apartemen, Yovi Setiawan (50), dari Batam, Kepulauan Riau, telah membeli satu unit Apartemen Meikarta seharga 260 juta secara bertahap di Distrik 3.
Ia memulai pembayaran pertama pada 2017 hingga lunas pada 2019 dengan cicilan sekitar Rp 10 juta per bulan pada megaproyek PT MSU ini.
“Kami merasa ada yang tidak beres ketika serah terima unit dijanjikan pada pertengahan 2019-2020, tetapi tidak terealisasi,” kata Yovi.
“Kami diminta menunggu lagi selama enam bulan dan diperpanjang menjadi 18 bulan sampai sekarang. Sepertinya tidak akan ada kepastian, makanya kami menuntut pengembalian uang,” imbuhnya.
Tipe unit Apartemen Meikarta yang berbeda tersebar di Distrik 1, 2, 3. Pada 2017, harganya berkisar Rp 170 juta-Rp 800 juta dari tipe studio hingga tipe 80.
Ketua PKPKM Aep Mulyana menjelaskan, terdapat tiga cara pembayaran apartemen, yaitu hard cash atau pembayaran langsung lunas, cash bertahap dengan jangka waktu dua tahun, dan kredit pemilikan apartemen (KPA) dengan jangka waktu hingga 10-15 tahun.
Sebanyak 80 persen pembeli yang membayar secara KPA dilakukan kepada Bank Nobu, satu kepemilikan perusahaan dengan PT MSU, yaitu Lippo Group.
“Pembeli sudah mencicil sejak 2017 hingga 2022 belum ada satu pun yang melakukan serah terima unit apartemen. Hingga kini, masih banyak tanah kosong dan bangunan yang belum selesai peruntukannya,” ujar Aep.
“Banyak pembeli yang tertekan dan tidak bisa menyekolahkan anaknya karena pihak bank intimidatif dan memaksa menyelesaikan kredit apartemen yang belum ada bentuk fisiknya,” terang Aep.