“Krisis Mahasiswa, Mahasiswa hari ini mengalami dampak destruktif dari sebuah missing link yang mengakibatkan mahasiswa kehilangan naluri mahasiswa” : Bung Mio
DiksinasiNews.co.id – Tahun 1928, setahun sebelum Great Depression melumpuhkan ekonomi dunia, badan sepakbola tertinggi dunia FIFA menggelar kongres di Amsterdam untuk merumuskan rencana gelaran pesta sepakbola antar negara terakbar untuk pertama kalinya.
Di China daratan, tepatnya pada bulan Juni 1928 Presiden China Zhang Zuolin di bunuh oleh Jepang. Di tahun yang sama, di belahan dunia lain tepatnya bulan oktober 1928 di gedung Indonesisch Huis Kramat, sebuah ikrar setia oleh para pemuda dikumandangkan, yang saat ini kita kenal dengan “Sumpah Pemuda”. Ikrar tersebut lahir dari sebuah kesadaran kolektif akan pentingnya rasa nasionalisme dan persatuan yang merupakan kristalisasi cita-cita berbangsa melalui sebuah kongres pemuda yang dipelopori oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI).
Krisis Mahasiswa saat ini dan perbandingan satu abad lalu
95 tahun berlalu, hari ini 2023 dengan berbagai kemajuan tantangan zaman dan berbagai problematika pemuda, rasanya sah-sah saja jika merefleksikan diri sebagai bagian dari introspeksi sekaligus merawat spirit 1928. Bukan tanpa alasan, dewasa ini, negeri tercinta kita tengah menghadapi berbagai persoalan rumit. Salahsatunya adalah yang berkenaan dengan Mahasiswa sebagai golongan intelektual muda.
Problematika besar hari ini antara lain tentang Sumpah Pemuda. Ikrar Sumpah Pemuda berkembang menjadi sebuah mitos dan Spirit Sumpah Pemuda hari ini mengalami pemfosilan.
Di semua negara dan bangsa apabila tengah mengalami krisis ataupun kemunduran, lazimnya harapan terakhir untuk menjadi problem solving adalah mahasiswa.
Lalu timbul pertanyaan, mahasiswa yang seperti apa? Maka bayangan orang-orang akan pulang ke rumah sejarah, kembali ke 1928 untuk menemukan kembali intelektual muda yang memiliki moral komitmen untuk menjadi tauladan para mahasiswa zaman sekarang.
Di tahun 2023 kata moral komitmen pada mahasiswa yang notabene merupakan representasi golongan muda justru menjadi sebuah problem sekaligus pertanyaan besar, pasalnya hari ini kita dapat dengan mudah menemukan banyak mahasiswa dan organisasi mahasiswa, tetapi kita tidak dapat menemukan moral di sana.
Kita dapat menemukan mahasiswa yang secara usia dapat dikategorikan sebagai anak muda, fisiknya muda, kulitnya kencang, tenaganya muda namun pikirannya kendor, ideologinya teledor dan moralnya jompo. Mungkin inilah yang bisa kita sebut “krisis mahasiswa”.
Pada Kongres Pemuda tahun 1928, para intelektual muda alih-alih menjadi seorang intelektual muda yang ketika ia lulus akan menduduki jabatan-jabatan amtener (Pegawai Negeri Sipil Zaman Kolonial), justru banyak dari intelektual muda yang merupakan anak-anak priyayi menolak jabatan tersebut, mereka lebih memilih berjuang dan melakukan bunuh diri kelas secara sukarela demi cita-cita berbangsa. Pertanyaan hari ini, kita tidak lagi menemukan mahasiswa sebagai intelektual muda yang datang untuk sebuah cita-cita besar, bayangan kemajuan bangsa dan komitmen bersama tentang apa yang dicita-citakan sebuah negara Indonesia sebagai nation yang dibangun dengan spirit gotong-royong. Sekarang kita lebih mudah menemukan kuntilanak dibandingkan mahasiswa yang mewarisi spirit sumpah pemuda, itulah fenomena yang disebut krisis mahasiswa.
Situasi ini, berakar pada upaya proses pemfosilan pemuda yang dalam konteks ini adalah mahasiswa sebagai intelektual muda. Hari Sumpah Pemuda diperingati setiap tahunnya, namun peringatan tersebut hanya sebatas seremonial belaka dan bersifat artifisial, sementara secara filosofis maupun praksisnya kata “Muda” nya sendiri mengalami involusi bahkan mengarah pada kejumudan. Sedangkan tujuan dari diperingatinya hari sumpah pemuda adalah tempat kita “men charge”, agar tetap terkoneksi dengan konsep perjuangan para pemuda 1928 dan menghidupkan kembali spirit pemuda dengan cara kembali ke rumah sejarah, mencari role model tokoh-tokoh pemuda pada zaman itu yang memiliki peranan penting dan apa yang mereka lakukan pada periode itu untuk kemudian dijadikan teladan, inspirasi dan terus dilakukan reintepretasi yang relevan oleh mahasiswa pada masa sekarang untuk menghadapi tantangan zaman.
Saat ini Ikrar Sumpah Pemuda itu sendiri hanya diteriakan kosong oleh mahasiswa pada momentum momentum tertentu, berputar-putar saja sebagai kata tanpa makna yang pada akhirnya mengalami pembusukan. Setelah itu, Sumpah Pemuda ini akan mengarah pada pengeramatan, pengkultusan, mitos sehingga yang terjadi adalah disorientasi dan degradasi nilai.
Mahasiswa hari ini mengalami dampak destruktif dari sebuah missing link yang mengakibatkan mahasiswa kehilangan naluri mahasiswa yang sesungguhnya, saling hisap, saling sikut tanpa alasan argumentatif, bernegara tetapi tidak mengerti tujuan bernegara, berbangsa tetapi tidak mengerti tujuan berbangsa, hal tersebut ibarat sekelompok kera yang saling cakar di tempat gelap.
Hari ini kita dapat menemukan contoh sederhana dari disorientasi dan degradasi nilai pemuda tersebut, salah satunya adalah ketika mahasiswa membentuk sebuah partai dan hal yang dilakukan pertama kali oleh mereka adalah gelar karpet ke istana, berusaha menjadi bagian dari kekuasaan istana. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh kaum intelektual muda pada 1928, di mana pada saat itu ketika para intelektual muda dan terpelajar membentuk organisasi atau partai, hal yang pertama kali dilakukan adalah diferensiasi posisi, menarik garis demarkasi dengan kekuasaan dan bersikap kritis terhadap kekuasaan untuk memihak rakyat.
Dalam konteks yang lebih kecil, di kampus-kampus kita dapat menemukan mahasiswa dan organisasi mahasiswa lebih bangga menjadi bagian kepanjangan tangan pihak kampus dan tunduk kepada kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa dibandingkan harus memperjuangkan mahasiswa.
Mahasiswa yang digambarkan sebagai “young hero” pada saat negara sedang dalam masa-masa sulit justru sangat eksklusif, tidak memiliki sikap ideologis, sangat kompromis, pragmatis dan oportunis. Sebagian besar mahasiswa lupa akan tugas dan tujuan mereka menjadi mahasiswa. Mereka memiliki kecenderungan sebagai pemuda yang egois, manja, tidak memiliki sense of crisis dan sense of belonging terhadap berbagai persoalan maupun kondisi sosial. Berteriak lantang dalam berbagai demonstrasi mengatasnamakan rakyat tetapi dalam proses perjuangannya samasekali tidak terintegrasi secara langsung bersama-sama di tengah rakyat, tidak mengerti psikologis rakyat, bahkan mencium aroma keringat rakyatnya pun tidak. Mereka antipati terhadap rakyat miskin, merasa lebih berpendidikan, merasa lebih tinggi kastanya dibandingkan dengan rakyat miskin yang tidak bersekolah, merasa lebih eksklusif. Mereka hanya menjual kemiskinan yang dirasakan rakyat hanya untuk tuntutan kepentingan, eksistensi kelompok atau individu.
Melihat kondisi demikian kekuasaan memilih bersikap abai, karena kekuasaan tahu betul musuh paling besar dari kekuasaan adalah mahasiswa sebagai kaum muda terpelajar, karena itu mahasiswa dan kaum muda yang pertama kali harus ditumpulkan secara sistematis oleh rezim kurikulum pendidikan.
Salah satu contoh sederhana upaya pelemahan yang dilakukan melalui sistem pendidikan antara lain, pada saat ujian kita dihadapkan dengan metode jawaban pilihan ganda yang sudah disediakan ataupun melalui metode pencocokan yang sifatnya dogmatis.
Jikalaupun terdapat pertanyaan berbentuk essay, kebenaran jawabannya berada pada otoritas guru/dosen, bukan pada argumentasi siswa/mahasiswa itu sendiri, sedangkan daya kritis pemuda lahir melalui proses persilangan argumentasi dan analisa dialektis. Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada koptasi sebagian besar kampus-kampus negeri sampai ke urusan teknisnya seperti pemilihan rektor.
Pemerintah perlahan mengubah pendidikan menjadi sebuah komoditas, bukan lagi menjadi sebuah hak warga negara seperti apa yang diamanatkan konstitusi.
Ruang-ruang kelas dikendalikan oleh pasar, siapa yang memiliki kemampuan finansial dialah yang dapat mengakses pendidikan sehingga yang hadir didalam ruang kelas bukan lagi logika kemanusiaan tetapi logika persaingan. Kampus menjelma menjadi sebuah menara gading yang memisahkan kaum intelektual dengan rakyat, merekonstruksi mindset mahasiswa melalui berbagai kebijakan kampus, salahsatunya melalui berbagai kegiatan wajib mahasiswa kampus yang hanya berorientasi pada profit dan seremonial bukan pada Nation And Character Building dan kebermanfaatan masyarakat seperti apa yang diamanatkan Tridharma perguruan tinggi.
Kemanusiaan bukan lagi menjadi arah perjuangan intelektual mahasiswa sekarang, ini yang membuat mahasiswa sekarang lebih mudah di adu domba hanya karena isu perbedaan golongan, identitas, suku, ras, agama dan hal-hal yang samasekali tidak substansial, padahal banyak sekali pekerjaan rumah bangsa ini yang harus dikerjakan bersama seperti perjuangan ekonomi, perjuangan sosial dan lain-lain.
2045 nanti Indonesia sebagai sebuah bangsa akan menggenapi usia kemerdekaannya menjadi 100 Tahun. Kita tidak ingin perayaan tersebut berubah menjadi perayaan kegagalan mahasiswa Indonesia, kita tidak ingin lagi di cap sebagai mahasiswa yang bermental Inlander. Kita ingin di 2045 nanti, bangsa kita merayakan 100 tahun Indonesia sebagai sebuah bangsa merdeka, sebuah bangsa yang memiliki pemuda yang mewarisi api perjuangan, gagasan dan pikiran besar para pemuda 1928 dengan cita-cita luhur tentang sebuah bangsa besar.
Sudah saatnya mahasiswa hari ini dengan berbagai kemudahan yang dimiliki harus mampu bangkit menghadapi dan memenangkan tantangan zaman, krisis mahasiswa harus dientaskan. Mahasiswa harus menjadi kaum terpelajar yang memiliki optimisme dalam melangkah dengan semangat kebhinekaan dan mampu membawa harapan besar untuk mengemban amanat penderitaan rakyat.
(Bung Mio/Founder Suluh Muda Studies Club)