DiksiNasi, Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang terbaru telah menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan pelaku pers di Indonesia.
RUU ini dianggap dapat mengekang kemerdekaan pers karena menetapkan batasan yang signifikan pada kegiatan jurnalisme, khususnya investigasi, yang bertentangan dengan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.
Tanggapan Dewan Pers
Menurut Dr. Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers, RUU Penyiaran tidak mempertimbangkan aspek penting dari UU Pers yang telah lama menjadi panduan kegiatan jurnalistik di Indonesia.
“Ini merupakan langkah mundur dalam demokrasi kita karena jurnalisme investigatif merupakan pilar penting dalam transparansi dan akuntabilitas,” ujar Ninik dalam konferensi pers di Jakarta.
Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), yang diwakili oleh Wahyu Dhyatmika, serta Hendry mewakili Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) juga mengecam keras draf RUU ini.
“Saya kira penegasan saja bahwa hari ini seluruh konstituen Dewan Pers satu frekuensi dengan Komisioner Dewan Pers menegaskan penolakan terhadap draf revisi Undang-Undang Penyiaran,” ujarnya.
Mereka bersatu suara dalam menolak batasan yang akan menghambat kemampuan media untuk melakukan investigasi dan penyiaran hasilnya.
“Kalau UU Penyiaran versi baru ini tetap seperti ini tentu ada benturan antara UU Pers dan UU Penyiaran yang baru,” ujar Hendry. Selasa, (14/05/2024).
Kecaman Mahfud MD Terhadap RUU Penyiaran 2024
Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, juga mengkritik keras RUU tersebut.
“Ini keblinger. Bagaimana mungkin sebuah media tidak boleh melakukan investigasi? Investigasi adalah esensi dari jurnalisme yang dinamis dan responsif,” kata Mahfud dalam sebuah keterangan resmi.
Dalam draf RUU Penyiaran yang beredar, tercantum ada 27 batasan pedoman penyiaran dan 11 batasan standar isi siaran yang baru.
Hal ini, menurut Mahfud, hanya akan memperlemah fungsi kontrol sosial yang seharusnya berjalan oleh media.
“Penyiaran bukan hanya tentang menyampaikan berita, tetapi juga mengedukasi publik dan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berjalan sesuai harapan masyarakat,” imbuhnya.
Pembatasan Berencana dan Bertahap
Yadi Hendriana, anggota Dewan Pers, menambahkan bahwa upaya pembatasan ini tidak hanya terjadi sekali ini saja tetapi telah beberapa kali terjadi melalui berbagai regulasi.
“Ini, adalah kali kelima pemerintah dan legislatif mencoba membatasi kemerdekaan pers. Setiap kali terjadi, kita harus bersuara keras menentangnya,” tegas Yadi.
Penolakan serupa, juga muncul dari berbagai organisasi lainnya seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI).
Mereka berargumen bahwa tanpa kemampuan untuk melakukan investigasi yang mendalam, kualitas jurnalisme di Indonesia akan menurun drastis.
Hal tersebut, pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap masyarakat luas.
Dalam menghadapi tantangan ini, semua pihak yang berkepentingan harus bersatu dan berkolaborasi.
Hal ini, bertujuan untuk memastikan bahwa RUU Penyiaran tidak akan menghambat kebebasan pers.
Sebaliknya, justru menguatkan integritas dan independensi media di Indonesia.