Diksinasinews.co.id, JAKARTA, – Di Hari Guru Nasional (HGN) 2022 Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberikan beberapa catatan kritis teruntuk pemangku kebijakan atau pemerintah.
Sebagai salah satu organisasi profesi pengajar, beberapa catatan kritis ini berkaitan dengan kesejahteraan pengajar honorer, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), hingga masalah guru terjerat pinjaman online (pinjol) dan BANK emok.
“Padahal berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial,” ungkap Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim.
Harapan tak sesuai janji manis mas Nadiem
Terkait janji yang pernah terlontar dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) dan Menpan RB akan mengangkat 1 juta guru ASN PPPK, Satriawan mengatakan bahwa jal itu cuman tinggal janji saja.
“Lagi-lagi para pengajar honorer di-ghosting oleh Pemerintah. Janji mengangkat 1 juta guru gagal total. Sementara itu nasib dari 193.000 tenaga pengajar tidak jelas, terombang-ambing oleh kacaunya seleksi PPPK hingga sekarang, belum lagi pengajar madrasah swasta yang tidak bisa ikut, terkesan diskriminatif,” lanjut guru SMA ini.
Dia menjelaskan mestinya 3 tahapan proses seleksi guru PPPK tuntas pada 2021, namun faktanya sampai November 2022 pemerintah baru membuka tahapan yang ke-3 mundurnya mencapai 1 tahun.
P2G berharap Presiden Jokowi turun tangan menuntaskan karut-marut pengelolaan guru di tanah air, termasuk menuntaskan persoalan seleksi Guru PPPK dan manajemen PPPK yang berantakan hingga sekarang.
“Kenapa Pak Jokowi kami minta turun langsung membereskan persoalan ini? Sebab Pak Presiden pernah punya legacy baik di masa lalu, tercatat dalam sejarah kami para pengajar memberikan peningkatan kesejahteraan kamk saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. Semoga Pak Presiden juga meninggalkan legacy kebaikan serupa, di akhir masa periode beliau sebelum 2024 nanti,” lanjutnya
Kedua, P2G sangat menyayangkan masih terjadinya kekerasan (bullying) di satuan pendidikan baik yang korbannya siswa maupun pengajar. Untuk itu P2G mendesak organisasi profesi guru terlibat memberikan pemahaman mengenai hak-hak anak seperti UU Perlindungan Anak bagi staf pengajar agar tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik siswa.
P2G juga mendesak Dinas Pendidikan tiap daerah proaktif mengedukasi bahkan memfasilitasi sekolah agar menjadi sekolah ramah anak.
Hendaknya Dinas Pendidikan memberikan sanksi tegas bagi sekolah yang belum membentuk “Gugus Tugas Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan”.
Upaya menekan angka kekerasan
Sekolah yang belum memasukkan strategi Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan dalam dokumen Kurikulum Operasional Sekolah mereka, sesuai amanah Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015.
“Kekerasan di sekolah makin menjadi-jadi, sekolah sudah keadaan darurat. Kemdikbud, Kemenag dan Pemda mesti gercep. Jangan sampai kita menormalisasi kekerasan apapun bentuknya. Banyak sekolah yang belum sadar kewajiban mereka mencegah dan menanggulangi kekerasan sesuai Permendikbud 82 Tahun 2015,” lanjut Satriwan.
Lebih lanjut Satriawan mengungkapkan terkait maraknya guru yang terjebak pinjol juga meresahkan bagi P2G. Lantaran para pengajar sebagai figur pendidik yang semestinya bertindak rasional dan melek literasi finansial ternyata sebaliknya.
Pinjol ilegal menggerogoti guru
Data OJK menyebutkan, sebanyak 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah mereka para pengajar, artinya merekala yang paling banyak terjebak pinjol. Ini fakta sangat menyedihkan sekaligus menimbulkan pertanyaan lebih lanjut.
“Apakah 42% guru yang terjebak pinjol itu berstatus tenaga honorer atau swasta dengan upah yang tidak layak? Atau statusnya PNS? Jika yang kena pengajar honorer, kami rasa pantas saja, dampak buruk rendahnya gaji mereka. Gelap mata, pakai jalan pintas. Gaji sebulan 500 ribu punya anak lebih 2 orang. Upah minimum pun tidak. Apalagi sejahtera, solusi memenuhi kebutuhan hidupnya ya ikut pinjol,” tukas Satriwan.
Selain itu P2G menilai kebijakan Mendikbudristek melakukan digitalisasi pendidikan khususnya melalui kanalisasi tunggal Platform Merdeka Mengajar (PMM) justru kontraproduktif dengan semangat Merdeka Mengajar.
“Dalam implementasi Kurikulum Merdeka, kami oleh Dinas Pendidikan dan Pengawas Sekolah mengisi sampai tuntas PMM. Bahkan kepala sekolah akan diberi sanksi jika mereka terlambat atau tidak mengisi konten PMM. Dulu kami dibebani administrasi, sekarang guru dibebani aplikasi,” cetus Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri.
Semoga catatan kritis di Hari Guru Nasional 2022 ini dapat dijadikan masukan pemangku kepentingan terkait ya!
Comment