Diksinasinews.co.id – Dampak pemanasan global dewasa ini semakin terasa kian meningkat. Pemerintah Indonesia sedang berupaya mengurangi jejak karbon dalam segala sektor.
Sektor Properti dan Kontruksi, sayangnya menjadi salah satu industri yang akan kesulitan dan memiliki tantangan untuk berkontribusi dalam program tersebut.
Mengutip rilis laman Real Estate Indonesia (REI) rei.or.id, Steve Atherton, Head of Capital Markets & Investment Services Colliers Indonesia mengatakan industri realestat dan konstruksi menghadapi banyak tantangan dalam mengurangi jejak karbon, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara berkembang lainnya. Oleh karena itu, perlu campur tangan pemerintah dan pemilik properti.
“Kebijakan listrik nasional, penggunaan bahan dan sumber daya lokal serta insentif pajak akan sangat berpengaruh pada sektor properti jika ingin ikut berkontribusi dalam mengurangi pemanasan global melalui pengurangan jejak karbon,” kata Steve dalam keterangannya, Rabu (16/11/2022).
Menurutnya, masyarakat Indonesia perlu melihat sumber daya lokal untuk memecahkan masalah ini.
Aldi Garibaldi, Senior Associate Director, Capital Markets & Investment Services Colliers Indonesia menyebutkan ada hal-hal yang juga bisa dilakukan oleh pemilik properti seperti penggunaan energi terbarukan.
Pemilik realestate dapat mencapai ini dengan mengalihkan penggunaan energi mereka ke energi terbarukan.
Selain itu, ada pula langkah penguatan. Langkah ini melibatkan pemasangan sistem HVAC yang terhubung ke energi terbarukan seperti panel surya dan turbin yang menghasilkan angin.
Terakhir, menurut Aldi Garibaldi, adalah kepemilikan yang bertanggung jawab, mana-jer yang bertanggung jawab dan investor real-estat harus berupaya meningkatkan kinerja lingkungan bangunan mereka serta mendorong penyewa untuk mempertimbangkan pola konsumsi energi mereka.
“Aktivitas keterlibatan penyewa meliputi pengumpulan data energi dan keberlanjutan, perilaku penyewa, dan panduan perbaikan,” te-gas Aldi.
Butuh Insentif
Jika industri realestat lebih bergantung pada energi terbarukan, maka hal itu akan mendorong Indonesia untuk mengonsumsi teknologi yang lebih mahal daripada negara maju.
Secara realistis, mengingat biaya teknologi yang mahal, kombinasikan dengan mata uang yang terus merosot lebih rendah, maka negara-negara berkembang akan berada dalam posisi yang sulit untuk mengurangi emisi karbon dari industri realestat dan konstruksi mereka.
Komitmen terhadap emisi nol bersih juga membutuhkan banyak pendanaan, pembiayaan ini tidak murah.
Ada dua hambatan utama yang harus dihadapi negara berkembang ketika menghitung bagaimana mengurangi emisi energi.
Pertama adalah lingkungan suku bunga tinggi, dan kedua adalah mata uang yang terdepresiasi. Tanpa manfaat nyata dan lang-sung, seperti harga sewa yang lebih tinggi atau kemampuan untuk menarik penyewa kelas A, maka biaya pendanaan akan menghalangi pemilik realestate untuk memperbaiki kualitas bangunan mereka.
“Karena itu, kebijakan pemerintah merupakan landasan yang perlu untuk mendukung inisiatif,” kata Aldi.
Sementara untuk proyek pembangunan baru, pemerintah perlu mengizinkan pembangunan dengan kepadatan yang lebih tinggi, asalkan pengembang merancang bangunan mereka untuk memenuhi persyaratan bangunan hijau.
Sumber Berita: http://rei.or.id/newrei/berita-industri-properti-di-indonesia-sulit-kurangi-jejak-karbon-ini-solusinya.html#ixzz7l5XwVI12
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial No Derivatives