Diksinasinews.co.id – Korupsi telah menggerogoti pendidikan. Anggaran pendidikan yang minim menjadi berkurang. Akibatnya, warga negara tidak mendapat hak pendidikan sewajarnya.
Banyak sekolah rusak, jumlah anak putus sekolah meningkat, dan pungutan kian membebani orangtua murid. Ini merupakan dampak buruk korupsi pendidikan.
Selain itu, korupsi pendidikan juga merusak mental pejabat dari melayani menjadi dilayani. Birokrasi pendidikan tidak lagi mendahulukan kepentingan pendidikan, tetapi memprioritaskan urusan pribadi, kepentingan politik dan bisnis rekanan.
Masyarakat sulit menemui mereka saat menghadapi masalah pendidikan. Padahal, sebagian besar pendapatan pajak dari masyarakat, pemerintah menghabiskannya untuk membayar gaji, tunjangan dan honor mereka.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan pada Rabu, (16/11/2022), Pada bulan Agustus 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Prof. Dr. Karomani, Rektor Universitas Lampung (UNILA) melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT).
KPK menjerat karomani dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dengan sangkaan menerima suap dalam penyelenggaraan ujian mandiri di Unila dengan meminta uang 100 juta hingga 350 juta kepada orangtua calon mahasiswa.
Pasca kasus UNILA terungkap, KPK juga melakukan pengembangan ke beberapa Universitas lain. KPK melakukan penggeledahan di beberapa Universitas, antaranya adalah Universitas Tirtayasa Banten (UNTIRTA), Universitas Riau (UNRI) dan Unversitas Syiah Kuala Aceh (USK).
Praktek suap ujian mandiri di Perguruan Tinggi Negeri ini pastinya akan membatasi akses calon mahasiswa lain yang berprestasi namun lemah secara ekonomi karena haknya terampas kecurangan dengan modus “seleksi jalur mandiri”.
Lembaga Pendidikan baik sekolah maupun perguruan tinggi merupakan ekosistem untuk melahirkan generasi yang berkualitas dan antikorupsi sebagai penerus bangsa. Apa jadinya jika ruang tersebut malah jadi lahan basah bagi praktik korupsi.
Catatan ICW
Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi Pendidikan di Indonesia yang penegak hukum dari tahun 2016 – September 2021 telah menangani jumlah korupsi cukup siginifikan.
Pelaku yang terjerat banyak berlatarbelakang Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya Dinas Pendidikan sebanyak 288 orang atau 46,3% dari 421 tersangka.
Kemudia aktor terkorup di peringkat kedua berlatarbelakang jabatan Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah sebanyak 157 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ruang Gelap Jalur Seleksi Mandiri Perguruan Tinggi Negeri
Selama ini proses penerimaan mahasiswa baru berlaku dua jalur, yaitu penerimaan Mahasiswa secara nasional dan melalui jalur seleksi mandiri.
Adapun syarat penerimaan mahasiswa baru secara nasional melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) mengacu pada nilai akademik dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) mengacu pada hasil ujian tertulis berbasis komputer (UBTK) dan kriteria lainnya.
Kemudian untuk seleksi mandiri sendiri mendapat kuota maksimal 30 persen dari total mahasiswa yang akan diterima.
Menurut Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, setiap PTN mempunyai keleluasaan untuk mengatur seleksi sesuai kepentingan PTN sendiri.
Pejabat di PTN mencari keuntungan memberikan persyaratan dan wewenang dalam memberikan nilai dan kelulusan, di sanalah mereka memanfaatkan celahnya.
Pada sisi lain meskipun telah ada syarat kuota 30 persen ternyata tetap tak seimbang dengan peminat yang begitubanyak. Akhirnya muncul favoritisme, kekerabatan bahkan berlaku “mekanisme pasar”, siapa yang berani membayar lebih besar akan lolos seleksi mandiri.
Pemerintah harus segera membenahi persoalan jakur seleksi mandiri, karena berpotensi akan menjalar pada bidang-bidang lain mengingat kedepan Perguruan Tinggi akan bertransformasi menjadi berbadan hukum sesuai UU 12 tahun 2012.
PTN berbadan hukum meskipun sebagian negara yang menanggung anggaran teyapnya, namun sebagian lain akan memberikan kewenangan mencari pendanaan sendiri.
Artinya, jika tata kelola dan integritas pimpinannya tidak terjaga tentu korupsi akan menjadi wabah dan biaya pendidikan tidak akan terjangkau.
Perlu Perbaikan Sistem
Perbaikan sistem seharusnya tidak menunggu momentum adanya kasus korupsi. Gejala ini harusnya dapat terdeteksi lebih dini dengan melakukan pengawasan dan evaluasi berkala.
Pengelolaan anggaran harus benar-benar terbuka dan transparan, sumber pendanaan kampus yang berasal dari luar seperti uang kuliah tunggal (UKT) perlu pengawasan secara ketat baik dari sisi penerimaan dan pemanfaatannya.
Posisi pengawasan yang harus badan tertinggi di universitas, yakni Majelis Wali Amanat (MWA) PTN perlu diperkuat dengan meningkatkan independensi dan kewenangan dalam mengawasi.
Keanggotaan MWA PTN menurut PP Nomor 51 Tahun 2015 mendominasi unsur pimpinan kampus seperti Rektor, tentu ini menimbulkan potensi konflik kepentingan. Bagaimana akan mencegah korupsi, sementara yang melakukannya adalah mereka para rektornya.
Biaya PTN yang tinggi justru memperburuk akses kepada pendidikan tinggi, meminggirkan keadilan serta minim inklusivitas. Kampus harus memikirkan sistem pendanaan lain yang tidak membebani mahasiswa dengan biaya kuliah yang tinggi.
Comment