DiksiNasi, Jakarta – Dewan Pers bersama dengan berbagai stakeholder lainnya telah bersatu dalam menolak draft RUU Penyiaran 2024 yang baru.
RUU ini, yang merupakan revisi dari Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, dipandang sebagai ancaman bagi kebebasan pers karena menghambat karya jurnalistik dengan pembatasan dalam menyiarkan berita.
RUU Penyiaran 2024 Ancam Kebebasan Pers
Pasal-pasal dalam draft RUU Penyiaran 2024 telah menjadi sorotan karena potensinya untuk mengancam kebebasan pers.
Dalam pembahasan terakhir di parlemen pada Maret 2024, RUU tersebut masih dalam proses, meskipun sebelumnya DPR menargetkan untuk menyelesaikan pembahasan pada bulan April.
Salah satu kontroversi utama dalam RUU Penyiaran adalah pembatasan terhadap produk jurnalisme tertentu, terutama investigasi.
Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) melarang media untuk menyiarkan siaran eksklusif jurnalistik investigasi.
Kritik atas larangan ini datang dari berbagai pihak, termasuk Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Nani Afrida, yang menyatakan bahwa investigasi adalah kasta tertinggi dalam produk jurnalistik.
“Pembungkaman pers. Itu sudah pasti agak aneh, ya, masa jurnalisme paling tinggi [yaitu] investigasi dilarang,” kata Nani. Senin, (13/5/2024).
Tidak hanya itu, terdapat juga pasal-pasal lain yang menjadi kontroversi, seperti Pasal 42 ayat 2 yang mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang bertentangan dengan UU Pers yang menetapkan Dewan Pers sebagai lembaga yang menangani sengketa pers.
RUU Penyiaran 2024 Menghambat Tugas Jurnalistik
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Hendry Ch Bangun, menegaskan bahwa larangan terhadap siaran eksklusif jurnalistik investigasi merupakan upaya untuk menghambat tugas jurnalistik, yang seharusnya tidak dibatasi.
Investigasi merupakan alat penting dalam memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat.
Selain itu, adanya tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa juga menjadi perhatian serius.
“Kalau UU Penyiaran versi baru ini tetap seperti ini tentu ada benturan antara UU Pers dan UU Penyiaran yang baru,” ujar Hendry.
Pasal 8A huruf q memberikan kewenangan kepada KPI untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik, yang sebelumnya menjadi tugas Dewan Pers.
Bantahan dari DPR RI
Politikus dari berbagai partai, seperti Mayor Jenderal (Purnawirawan) TB Hasanuddin, menegaskan bahwa DPR tidak bermaksud untuk membatasi kebebasan pers melalui RUU ini.
Namun, pembatasan tersebut merupakan usulan, untuk mencegah pengaruh opini publik terhadap proses hukum yang sedang berlangsung.
“Saya kira, bisa kita pahami. Jadi jangan sampai proses hukum oleh aparat, terpengaruh konten jurnalisme investigasi,” kata Hasanuddin.
Meskipun demikian, kritik terhadap RUU Penyiaran 2024 terus mengemuka.
Banyak pihak menyoroti potensi pembatasan kebebasan pers, yang muncul dari beberapa pasal dalam draft tersebut.
Dengan masih dalam tahap pembahasan, harapan untuk revisi yang lebih menghormati kebebasan pers tetap terbuka.
Kontroversi ini menunjukkan pentingnya dialog antara para pemangku kepentingan untuk mencapai kesepakatan yang memperkuat kebebasan pers tanpa mengorbankan kepentingan lainnya dalam proses legislasi.