DiksiNasinews.co.id, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden telah mengejutkan publik menjelang batas akhir pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.
Batas Usia
Putusan tersebut, yang terkait dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, memungkinkan calon presiden dan calon wakil presiden yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai anggota DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota, untuk mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun.
Isu ini menjadi perdebatan dan menuai sorotan oleh pakar hukum dan politik dari UGM melalui diskusi Election Corner bertajuk “MKDK: Mau ke Mana Demokrasi Kita”. Kamis (19/10/2023).
Citra MK
Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum UGM, menyatakan bahwa putusan MK ini memiliki dampak besar pada citra MK dan hukum Indonesia secara keseluruhan. Ia merasa bahwa putusan ini mencerminkan pengaruh politik pada keputusan hukum.
Zainal mengungkapkan keprihatinannya bahwa dalam putusan ini, terdapat pertimbangan-pertimbangan yang seharusnya tidak memengaruhi proses hukum, seperti pertimbangan tentang suasana hati hakim. Ia juga mencatat bahwa Ketua MK sebelumnya menyatakan konflik kepentingan, tetapi terlibat dalam putusan ini.
“Putusan hukum itu kan sangat jarang memperlihatkan suasana kebatinan pembuat hukum. Kita sebagai publik melihatnya hanya dari alasan logisnya saja. Tapi kalau kita lihat sidangnya kemarin, itu banyak sekali suasana-suasana kebatinan yang terungkap. Bagaimana bisa gugatan yang sebelumnya mendapat penolakan, sedangkan gugatan yang baru masuk ini, tanggal 13 September, langsung mereka terima. Ada lagi soal perlibatan Ketua MK. Sejak awal ia bilang ia tidak ingin mengambil keputusan karena ada konflik kepentingan, tapi untuk putusan ini dia terlibat,” ungkap Zainal.
Kepentingan Politik
Menurut Zainal, perubahan dalam putusan MK berdasarkan kepentingan politik adalah hal yang berbahaya. MK seharusnya menjadi satu-satunya institusi untuk menyelesaikan persoalan politik melalui jalur hukum, bukan sebaliknya. Dalam konteks putusan ini, dia khawatir bahwa kekuasaan kehakiman akan menjadi alat untuk mendukung kepentingan politik.
“Ketika demokrasi diganggu, penegakkan hukum yang penting dalam demokrasi itu diganggu. Kedua, ketika esensi demokrasi dasar, seperti syarat capres-cawapres, itu tiba-tiba dihilangkan oleh hakim. Bagaimana bisa, kebijakan publik yang berkaitan dengan proses demokrasi itu ditentukan oleh orang yang tidak dipilih secara demokratis. Ketiga, adalah bagaimana kekuasaan kehakiman ini diperas untuk membenarkan keinginan politik,” ucap Zainal. Bahkan, jika melihat posisi MK sebagai penegak hukum di Pemilu 2024, kondisi ini terbilang sangat mengkhawatirkan.
Dampak Demokrasi
Sukri Tamma, Pakar Hukum dari Universitas Hasanuddin, juga menyatakan keprihatinannya tentang dampak demokrasi setelah putusan ini. Ia berpendapat bahwa demokrasi memerlukan hukum sebagai pembatas dan untuk mencegah dominasi satu pihak atas yang lain. Namun, putusan MK ini dapat memberikan kesan bahwa konstitusi bisa ada di bawah kendali politik.
“Implikasinya akan sangat panjang. Paling tidak kedepannya, yang mungkin terjadi adalah kegamangan demokrasi. Benteng kita sudah sangat rapuh. Proses ini kan nantinya akan membuat penguat demokrasi itu rawan tawaran, kemudian menjadi alat untuk melegalkan kepentingan tertentu. Nah, kalau ini yang ada pada prinsipnya kita sudah tidak berdemokrasi saya kira. Ini akan membuat kita bergembira dengan demokrasi prosedural, substansinya tidak ada,” tutur Sukri.
Demokrasi Rapuh
Putusan ini juga dapat membawa implikasi panjang, di mana demokrasi menjadi rapuh. Sukri menyoroti bagaimana hal ini dapat membawa kita ke arah yang tidak demokratis, hanya mengikuti prosedur demokrasi tanpa substansinya.
Lima Permohonan
Dalam putusan ini, MK juga menolak lima permohonan terkait batas usia calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu. Hal ini mengakibatkan berbagai pertimbangan hukum yang kompleks, di mana Mahkamah mencari keseimbangan antara hak konstitusional calon dan kepastian hukum.
Dalam konklusi kelima perkara tersebut, Mahkamah menilai pokok permohonan para Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu adalah kehilangan objek. “Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 Niet Ontvankelijke Verklaard (NO),” ujar Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan untuk kelima putusan tersebut.
Tidak Relevan
Tercatat ada pendapat berbeda dari salah satu hakim konstitusi, Suhartoyo, yang menyatakan bahwa pemohon yang meminta pengujian norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu seharusnya tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan ini.
“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo sepanjang berkaitan dengan pengujian norma Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan sepanjang berkenaan dengan konstitusionalitas norma Pasal 169 huruf n dan huruf q UU 7/2017,” tegasnya.
Putusan MK ini telah menciptakan perdebatan dan ketidakpastian dalam konteks pemilihan presiden dan wakil presiden di masa mendatang serta peran MK dalam menjaga demokrasi di Indonesia.