DiksinasiNews.co.id, OPINI DIKSI – Pukul setengah sembilan pagi, Nurris (bukan nama sebenarnya) seorang kontributor pemberitaan media lokal di salah satu daerah mendatangi lokasi proyek pemerintah yang dikerjakan oleh pihak kontraktor pemenang tender. Cerita berawal sebelum praktik beking-bekingan terungkap.
Pekerjaan tersebut adalah pengerjaan pengaspalan jalan dan pembuatan tembok penahan tanah (TPT).
Akan tetapi, baru selesai dikerjakan sekitar tiga hari, badan jalan sudah terlihat rusak hingga menimbulkan keretakan.
Juga robohnya TPT setinggi satu meter, yang semakin membuat pekerjaan itu nampak asal-asalan.
Nurris, sang kuli tinta, bergegas ke lokasi tanpa memperdulikan sarapan terlebih dahulu. Menggunakan motor matic, ia langsung tancap gas menuju proyek yang diduga gagal itu.
Bermodalkan informasi dari masyarakat, dia memulai aktifitas Jurnalistiknya, dengan mengumpulkan fakta dan data berdasarkan wawancara.
Setibanya di lokasi, sang pencari fakta itu langsung mencari narasumber utama. Tak lupa, catatan kecil ia bawa untuk mencatat beberapa keterangan atau informasi penting.
Nahasnya, bukan pihak kontraktor yang berhadapan dengannya. Kontributor lepas malah dihadang oleh beberapa orang yang diduga preman, suruhan si bos kontraktor.
Selain itu, ada pula beberapa wartawan dengan menggunakan atribut lengkap. Di kemeja yang mereka pakai, berbagai emblem mereka tempelkan dari mulai tulisan Pers, hingga perusahaan tempatnya bekerja terpampang ramai menghiasi.
“Dari media mana? Proyek ini yang punya kawan saya, jadi jangan asal tayangkan berita. Hati-hati,” tanya salah satu kawanan wartawan bergerombol itu.
Selain itu, nampak beberapa orang berseragam rapih dan menggunakan atribut lengkap, yang mengaku dari organisasi masyarakat (ormas) turut serta menghadapi sang pencari berita.
“Sudahlah, kejadian ini tak usah dipublikasi. Rekan-rekan wartawan yang lain juga sama, mereka itu kondusif. Nanti ikut tandatangan saja, ada ampau dari si Bos,” kata pemimpin ormas itu.
Dengan raut wajah yang lesu, kontributor lugu yang memang faham tentang kode etik jurnalistik itu sejenak terdiam. Tekad kuat dalam hatinya berburu informasi tetap dia pegang teguh. Praktik beking-bekingan ini menjadi penyakit yang harus segera ditanggulangi.
“Maaf kang terimakasih atas penerimaannya. Tapi saya perlu bertemu pihak penyelenggara proyek untuk melaksanakan aktivitas jurnalistik, yaitu wawancara,” ujar Nurris sang kontributor.
Setelah terjadi beberapa percekcokan dengan segerombolan yang diduga beking-beking dari proyek itu, datanglah aparat penegak hukum (APH) setempat yang ikut mengambil peran. Anggota kepolisian itu, ikut berpihak kepada para penyelenggara, lantaran diduga mendapatkan jatah dari proyek tersebut.
Di lain pihak, pemerintah sebagai penyelenggara juga menyuruh beberapa bekingnya untuk ikut menjegal kegiatan mulia sang kontributor.
Cerita pendek di atas memang bisa dikatakan fiksi. Akan tetapi, relaita yang terjadi di Negeri tercinta kita ini memang tak jauh dari kisah di atas.
Praktik bekingan ini dimainkan dari ibu kota sampai ke daerah-daerah otonom. Jejaringnya sangat kuat, bisa melalui partai, organisasi, aparat, preman, wartawan, bahkan keluarga.
Menko Polhukam Mahfud MD baru-baru ini menyebutkan bahwa keterlibatan oknum aparat menjadi “backing” praktik ilegal merupakan hal yang sudah lama terjadi.
Hampir setiap urusan di republik ini selalu menyisahkan kisah tentang oknum bekingan. Di balik layar, oknum bekingan merupakan sosok superior dalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Bahkan bukan soal proyek saja. Di berbagai daerah bahkan terkait prilaku kinerja para pemangku kebijakan pun terlihat semakin semerawut dan seenaknya saja.
Status Aparatur Sipil Negara (ASN) yang mereka sandang, bukannya memberikan contoh baik, namun sebaliknnya. Di sumpah menjadi pelayan publik malah seenaknya bahkan menyakiti hati masyarakat. Apabila terjadi konflik, beking-bekinganlah yang menjadi solusi.
Kesenjangan yang marak terjadi soal beking-bekingan di tubuh pemerintah, justru malah mengkerdilkan beberapa wadah maupun profesi.
Seperti media masa yang seharusnya bekerja sesuai idealisme, justru terkesan adanya komando dari sosok beking pemerintah.
Ketimpangan yang menganga membuat kerja dengan otot lebih dominan dibanding otak. Karena itu menjadi anggota serta bagian dari kelompok organisasi preman, justru merupakan harapan untuk bisa mempertahankan kehidupan.
Pada sisi yang lain, secara ironi preman berdasi memainkan sisi terang para pengambil kebijakan yang mematok jatah dari anggaran bantuan sosial, mematutkan diri dengan gelar akademik kehormatan, serta seperangkat aturan pelindung diri atas kritik publik. Betapa ironinya hidup di negeri beking-bekingan. (Red)