DiksiNasi, Jakarta –Gelombang massa Mahasiswa keluhkan UKT Mahal, menyusul celotehan Kemendikbud yang mengatakan jika Kuliah adalah pendidikan tersier dan bukan mandatory.
Pendidikan tinggi di Indonesia kembali menjadi sorotan dengan adanya polemik meningkatnya biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang memicu aksi demonstrasi dari berbagai kampus di seluruh negeri.
Kemendikbud Sebut Kuliah Tidak Penting
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan bahwa pendidikan universitas bukan bagian dari sistem wajib belajar yang saat ini berlaku selama 12 tahun, dari sekolah dasar hingga menengah atas.
Dalam tanggapan terhadap gelombang protes, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, menyatakan bahwa perguruan tinggi dianggap sebagai tingkat pendidikan tersier yang opsional, bukan mandatori.
Melansir Kompas.tv, Tjitjik menyampaikan hal tersebut secara gamblang di salah satu video yang kini tengah viral.
“Perguruan tinggi adalah pilihan, bukan keharusan. Masyarakat harus menyadari bahwa keputusan untuk melanjutkan ke jenjang ini adalah pilihan individu,” jelas Tjitjik dalam sesi taklimat media di Jakarta.
Menurut Tjitjik, pemerintah saat ini fokus pada pembiayaan pendidikan wajib, yang mencakup pendidikan dasar hingga menengah, dengan anggaran yang prioritaskan untuk memenuhi standar mutu pendidikan ini.
UKT Mahal Bos Tidak Memadai
Sementara itu, pendanaan untuk perguruan tinggi dilakukan melalui Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN).
Meskipun pada kenyataannya, tidak cukup untuk menutup seluruh kebutuhan biaya.
Dalam hal penentuan biaya UKT, Kemendikbudristek telah menetapkan standar dengan Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024.
Besaran biaya minimal untuk kelompok UKT, mulai dari Rp500 ribu hingga Rp1 juta.
“Kami tidak menaikkan UKT, tetapi menyesuaikan kelompok pembayaran sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswa,” ungkap Tjitjik.
Gelombang Demonstrasi
Di tengah kontroversi ini, mahasiswa dari beberapa universitas telah mula menggelar demonstrasi.
Antara lain, Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, dan Universitas Negeri Riau.
Mereka mendesak pemerintah untuk memikirkan kembali kebijakan yang menurut mereka membebani mahasiswa, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Respon pemerintah atas desakan tersebut hadir dari Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih.
Fikri, menegaskan perlunya evaluasi dan peningkatan tata kelola pembiayaan UKT.
“Kemendikbudristek harus menjawab kekhawatiran ini dengan solusi yang adil dan bijaksana. Sehingga tidak satu pun mahasiswa yang terhambat pendidikannya karena masalah biaya,” tegas Fikri dalam pertemuan dengan perwakilan mahasiswa.
Ultimatum BEM SI
Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Herianto, memberikan ultimatum.
Dia meyebut, jika tidak ada kemajuan yang konkret dari pertemuan tersebut, mahasiswa siap untuk meningkatkan skala protes.
“Kami akan terus berjuang untuk keadilan biaya pendidikan. Ini bukan hanya tentang uang, tapi juga tentang hak dasar setiap warga negara. Antara lain, untuk mendapatkan pendidikan yang layak,” ucap Herianto dengan tegas.
Celotehan Warganet
Di tengah debat ini, masyarakat berharap pihak berwenang dapat mencapai solusi terbaik.
Solusi untuk mengakomodasi kebutuhan pendidikan tinggi, tanpa membebani mahasiswa secara tidak proporsional.
Udah mah UKT mahal, fasilitas ngga sesuai sama biaya kuliah, giliran yang lolos KIP-K salah sasaran lagii, ngga adil bgt. Minimal fasilitas sesuai dengan biaya yang udah mahasiswa keluarkan… pic.twitter.com/c4JzEmjTg1
— Jamal (@Jamaltaqqi) May 15, 2024
Akun @Jamaltaqqi menyebut, bahwa meskipun UKT Mahal, namun fasilitas yang mahasiswa dapat tidak sesuai.
“Udah mah UKT Mahal, fasilitas tak sesuai. Belum lagi, yang lolos KIP salah sasaran. Ini tidak adil, minimal mahasiswa mendapat fasilitas sesuai” ujarnya.
Keseimbangan antara pembiayaan pendidikan dan aksesibilitasnya menjadi kunci utama dalam menyelesaikan dilema ini.